Butuh Upaya Hidupkan Kembali Permintaan Batubara di Kalimantan Selatan

Butuh Upaya Hidupkan Kembali Permintaan Batubara Banjarmasin, BARITO Tahun ini bukanlah tahun yang baik bagi bisnis batu bara. Selain harga jual internasional yang masih rendah, kebijakan pemerintah juga dinilai tidak mendukung. Dua kebijakan yang bisa mencekik pengusaha tambang batu bara adalah kenaikan royalti dan pengenaan bea keluar. Perusahaan batubara berupaya mencari siasat untuk mengakali penurunan harga komoditas ini. “Dibutukan suatu upaya untuk menghidupkan kembali permintaan akan batubara dan meredam penurunan harga di pasar global,” kata pengamat sektor pertambangan Dr H Abdul Hakim SH MH, Senin (7/3). Dia menuturkan, pertambangan rakyat semakin matin, dan di tahun 2016 menjadi momok bagi pelaku usaha batubara di daerah. “Bisnis batubara bersifat seperti siklus. Kami menyeimbangkan portofolio dengan bisnis yang stabil, bisa diprediksi, dan menghasilkan pendapatan yang bagus,” kata alumni Universitas Brawijaya Malang ini. Advokat senior ini mengakui, pemerintah akan merivisi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Nantinya, revisi aturan itu akan mengubah besaran royalti usaha pertambangan mineral dan batu bara. “Pemerintah berencana menyamakan tarif royalti batu bara antara perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),” katanya. Dalam PP No 9 Tahun 2012 tersebut dinyatakan, beber Hakim, tarif royalti yang berlaku bagi perusahaan PKP2B berbeda dengan pemegang IUP. Pemegang PKP2B dikenakan royalty sebesar 13,5%. Sementara pemegang IUP ditetapkan 3-7% sesuai nilai kalori dari batubara. Untuk industri batubara berkalori rendah ditetapkan royalti 3%, untuk berkalori sedang 5%, dan untuk yang berkalori tinggi 7%. Nah, nanti semua akan disamaratakan menjadi sebesar 13,5%. "Ada juga bea keluar. Sekarang saja tidak ada bea keluar ini sudah terpuruk, apalagi kalau ditambah bea keluar. Nanti harganya makin tidak kompetitif," ujarnya. Terkait revisi Perda No 3 Tahun 2012, dia meminta legislatif dan eksekutif tidak melakukan revisi. “Kami minta Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Selatan tidak merevisi Peraturan Daerah (Perda) Kalsel Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perda Kalsel Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Angkutan Hasil Tambang dan Hasil Perkebunan,” tandas Wakil Ketua Perindo Kalsel ini. Sebaiknya, kata Abdul Hakim, agar pembahasan revisi Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perda Kalsel Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Angkutan Hasil Tambang dan Hasil Perkebunan ini maksimal, legislatif akan melibatkan seluruh unsur terkait mulai dari pengusaha tambang, perkebunan, akademisi, kalangan profesional, dan pemerintah daerah. Abdul Hakim menilai, angkutan sungai untuk pertambangan sangat efektif digunakan, ketimbang melalui jalan darat. Keuntungan lebih besar dari APBD, seperti pembayaran alur Barito dan lainnya. "Lebih baik angkutan sungai, dan dampak negatif sangat kecil terhadap masyarakat," katanya. Pelayaran perairan daratan belum digunakan secara maksimal, pemanfaatannya masih sangat minim. Padahal peluang untuk pemanfaatannya sangat murah untuk angkutan barang dalam jumlah yang besar seperti yang mulai dikembangkan di pulau Kalimantan untuk angkutan hasil tambang dan produk pertanian. afdi/brt